
Sleman,suarainfo.com |— Di tengah riuh dunia yang makin pragmatis, Susilowati Susmono Official (SSO) kembali membuka ruang permenungan kolektif, Di Museum Serat Holistik Kehidupan, Donoharjo, Ngaglik, Minggu (27/7/2025).Sebuah dialog digelar untuk mengulas serpihan-serpihan aransemen kehidupan, buah olah rasa Ibu Susilowati Susmono yang telah dirangkai dalam Serat Holistik Kehidupan.
Pada sesi ini, tema “Tenggelamnya Kehidupan” dikaji bersama Eko Hand, Ketua Umum Taman Sesaji Nusantara. Ibu Susilowati tampil sebagai nara tanggap yang menyigi narasumber dengan pertanyaan menusuk: “Menurut Ki Eko Hand, tenggelamnya kehidupan ini, fenomena apa ini…?”
Dengan napas panjang, Eko Hand menjabarkan dua akar tenggelamnya peradaban: cara pandang manusia terhadap alam, serta kualitas moral yang remuk redam. “Dulu, bumi dipandang sebagai subjek peradaban. Kini, hanya jadi objek eksploitasi,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, pohon beringin (ficus), sang penjaga air tanah dan penghasil oksigen terbaik, kini dianggap remeh karena tak punya nilai jual. Padahal, jika dihitung dari harga tabung oksigen harian selama 20 tahun, nilainya jauh melebihi pohon jati. “Satu pohon bisa setara enam tabung oksigen per hari. Bandingkan sendiri nilainya dengan harga pohon jati usia dua dekade.

”Lebih menggetarkan, Eko Hand menyampaikan tentang “jiwa-jiwa salah lahir”. Sukma yang mestinya menjadi pohon atau satwa kini terlahir sebagai manusia karena habitatnya musnah. “Akhirnya, banyak manusia vegetatif dan tamak, wujud kegagalan ekosistem yang dicemari kerakusan,” katanya getir.
Dengan senyum tipis, Ibu Susilowati menimpali, “Jadi, apakah dibutuhkan kemarahan semesta, bencana besar atau perang?”Eko menjawab lirih namun menggemuruh, “Ya. Jika penyelarasan gagal, maka mahapralaya adalah depopulasi semesta.”Ledakan tawa dari tim SSO menjadi penutup sesi itu — getir namun menyadarkan.
Dialog pun menyinggung arah konstruksi moral bangsa. “Pancasila adalah ruang yang sangat Indonesia. Namun tak ada lembaga yang benar-benar menerjemahkannya dalam praksis sosial,” ujar Eko.Bu Susilowati menambahkan, “SSO telah merumuskan implementasi Pancasila sebagai laboratorium peradaban. Serat Holistik Kehidupan adalah jawabannya.
”Harapan besar mengapung dari diskusi ini,agar nilai luhur Pancasila, melalui SSO, mampu menembus sekat penguasa, masyarakat, bahkan regulasi negara.Dialog ditutup dengan pemutaran lagu “Fatamorgana”, karya Ibu Susilowati Susmono, seolah menjadi penanda bahwa di balik kabut kekacauan, ada cahaya yang layak dituju.(Raja)
Editor : RM.(Neutron Aprima)
Tinggalkan Balasan