
Yogyakarta,suarainfo.com |— Dalam khazanah budaya Jawa, Sandingan kerap hadir dalam setiap upacara adat sebagai pelengkap sesaji utama. Namun, tak sedikit yang keliru memahami. Sandingan sering disamakan dengan Cok Bakal atau bahkan Gedang Ayu, akibat minimnya literasi tertulis dan dominasi tradisi lisan yang turun-temurun.
Eko Hand, seorang penggiat budaya Taman Sesaji Nusantara yang aktif meneliti, melestarikan dan memajukan sesaji menjadi kajian ilmu pengetahuan, dalam praktik ritus kearifan lokal di Yogyakarta, dan harapan Taman Sesaji Nusantara bisa dilakukan di setiap masyarakat adat di seluruh Indonesia.
Eko juga mengungkapkan, bahwa Sandingan memiliki makna mendalam sebagai bentuk ungkapan syukur kepada parahyangan (pencipta kehidupan) palemahan (alam semesta sebagai tempat hidup dan yang menghidupi kehidupan) dan pawongan (kepada manusia itu sendiri, raga dalam konteks personal dan sosial, leluhur dalam kontek sukur oleh karena jasa mereka hari ini manusia ada dan mewarisi peradaban para pendahulunya)
“Sandingan berasal dari kata ‘sanding’ yang berarti mendampingi. Ia bukan sekadar pelengkap, melainkan penegas niat dan harapan dalam satu rangkaian persembahan,” ujar Eko Hand.kepada awak media,suarainfo di Jalan Kemuning 378, Kamis, (20/6/2025).
Komponen Sandingan mencerminkan nilai-nilai spiritual, takir dari daun pisang sebagai wadah penerimaan berkah, beras lambang kehidupan dan kemakmuran, pisang raja perlambang harapan dan keberlangsungan hidup, kelapa utuh simbol keutuhan dan niat suci, uang logam (tindih) sebagai bentuk kerelaan memberi,
porosan (sirih, pinang, kapur) pengejawantahan Tri Murti, (parahyangan – palemahan – pawongan) cok Bakal yang menghubungkan pada asal kehidupan, serta Kopi sebagai penghormatan terhadap leluhur tak kasat mata.
Menurut Eko, pelurusan pemahaman Sandingan sangat penting demi menjaga keaslian nilai dan bentuk sesaji Jawa. Ia berharap ada dukungan dari lembaga akademisi agar praktik-praktik spiritual lokal bisa tetap lestari dan terwariskan menjadi kajian-kajian ilmu pengetahuan dan kajian-kajian akademis dengan utuh.
“Sesaji bukan sekadar benda, tetapi bahasa jiwa yang menghubungkan manusia dengan yang kehidupan itu sendiri (pawongan), yang menghidupi kehidupan (palemahan) dan yang menciptakan kehidupan (Parahyangan) ,” tandasnya.(Raja)
Editor : (RM.Neutron Aprima)
Tinggalkan Balasan