
Yogyakarta, Suarainfo.com|-Sudah 3.000 tahun silam, budaya nyirih hidup dalam denyut masyarakat Asia Tenggara. Di tanah Jawa, nyirih bukan hanya kebiasaan personal. Ia menjelma sebagai ritus sosial yang menyatukan dari rakyat jelata hingga para bangsawan.
Tak sekedar pinang dan sirih. Nyirih adalah lambang keakraban, bentuk penghormatan, dan sarana paseduluran. Dalam tradisi masa lalu, menolak atau tidak menawarkan nyirih kala bertamu, bisa ditafsirkan sebagai penghinaan. Begitu dalam nilai yang dikandungnya.

Kini, tradisi ini dihidupkan kembali lewat Srawung Paseduluran Anggara Kasih, yang genap berusia satu tahun bulan ini. Sebuah gerakan budaya yang lahir dari semangat guyub dan tulus, menjaga warisan dalam rasa batin kekeluargaan.
Untuk merayakan tanggap warsa pertamanya, komunitas ini menggelar “Sareng Nyirih”, sebuah ritual kebersamaan yang akan dipimpin langsung oleh maestro nginang, Eko Hand, seniman sekaligus penggagas Taman Sesaji dan pelopor Anggara Kasih.
“Ngumpul rukun agawe santosa,” ujar Eko Hand.
Sebuah perjumpaan yang tak hanya merawat adat, tapi juga menyambung rasa.
Astungkara, rahayu sagung dumadi.(Raja)
Editor : (R.M.Neutron Aprima).
Tinggalkan Balasan