
Gunungkidul,suarainfo.com –Malam Selasa Kliwon, (30/9/2025), bertepatan dengan 6 Bakdamulud 1959 Tahun Dal, menjadi saksi spiritual dibukanya Singep Cupu Kyai Panjala, pusaka leluhur yang disucikan oleh warga Padukuhan Mendak, Kalurahan Girisekar, Kapanewon Panggang, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dalam balutan malam yang syahdu dan aroma kemenyan yang mengepul pelan, tiga guci pusaka, Semar Tinandu, Palang Kinantang, dan Kenthiwiri, kembali dibuka dengan ritual khidmat yang hanya dilakukan sekali dalam setahun. Prosesi ini diyakini masyarakat sebagai pitutur langit: ramalan arah hidup setahun ke depan, yang tersirat lewat simbol-simbol pada lembar kain mori (singep) yang membungkus cupu.
Empat dari total tiga puluh satu lembar kain ditemukan dalam kondisi basah, sebuah fenomena yang dipercaya memiliki makna spiritual tersendiri. Muncul gambar-gambar samar di atas mori, pitek lanang, tikus, Semar, Petruk, bocah nunggang kewan, ndas wayang, wayang Narodo, pulau Sumatera, angka 3, hingga tulisan Arab ‘Alif’.
Fitri Cahyanto, S.Pd.I. dan MB. Jayacahyautomo, yang mendokumentasikan prosesi ini secara rinci, mengungkapkan, mencatat bahwa arah cupu pun memiliki makna tersendiri – Cupu Semar doyong ke timur, Cupu Palang doyong ke selatan, Cupu Kenthiwiri doyong ke timur laut

“Masyarakat adat menyebut ini sebagai tanda alam, petunjuk tentang cuaca, pertanian, keseimbangan sosial, hingga politik dan bencana yang mungkin terjadi,”ungkapnya
Menurut cerita turun-temurun, Cupu Kyai Panjala pertama kali ditemukan oleh Eyang Seyek, atau Kiai Panjala, saat menjala ikan di laut selatan sekitar 550 tahun lalu. Ia hidup sebatang kara, dan pusaka ini diyakini sebagai pemberian gaib, warisan yang dijaga oleh trah keturunan hingga kini.
Tiga dari lima cupu asli masih disimpan dalam kotak kayu berukuran 35 x 20 x 20 cm, dilapisi ratusan kain mori yang diganti hanya satu kali dalam setahun, saat bulan Suro atau setelahnya.
Bagi masyarakat Mendak, Cupu Panjala bukan sekadar ritual, melainkan refleksi spiritual, pengingat etika, dan penjaga arah hidup bersama. Acara ini selalu diawali dengan kenduri, doa bersama, dan pembukaan kain secara bertahap. Tak ada ramalan yang bombastis, hanya ajakan untuk waspada, mawas diri, dan tetap bersahaja.
Kalimat sakral yang selalu diucapkan pada akhir prosesi”Suradirajayaningrat lebur dining pangastuti.”
Segala keagungan dunia hanya bisa dilembutkan dengan kasih dan ketulusan.

Acara dilanjutkan kembul bujono, dengan nasi gurih satu piring berdua.(Raja)
Editor : (R.M.Neutron Aprima)
Tinggalkan Balasan