
Bantul,suarainfo.com- Di tengah derasnya arus informasi yang menuntut kecepatan, sebuah tayangan investigasi bertajuk “Xpose” di layar Trans7 telah mengguncang nurani kalangan pesantren dan akademisi. Bukan karena keberaniannya mengungkap kebenaran, melainkan karena ketidakseimbangannya dalam menarasikan dunia pesantren-tempat para kiai menanamkan nilai, bukan menciptakan sensasi.
Dari ruang kerja yang tenang, Advokat Arifin J.W., S.H. & Partners bersuara lantang, menegaskan bahwa media tak boleh menyalahi kodratnya sebagai penjaga kebenaran. Dalam suaranya yang tegas namun beralasan, Arifin menyebut tayangan itu telah melewati batas jurnalisme yang etis dan berpotensi menodai marwah para ulama.
“Ini bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan potensi pelanggaran hukum yang nyata. Nama baik kiai bukan bahan eksperimen media,” ujarnya, kepada awak media di kediamannya, Rabu,(15/10/2025)
Ia menelusuri pasal demi pasal- dari UU ITE Pasal 27 ayat (3) hingga Pasal 310 dan 311 KUHP- menemukan jejak hukum yang mengingatkan bahwa kebebasan pers tidak berarti kebebasan mencemarkan.
Dalam Kode Etik Jurnalistik, tersurat kewajiban untuk berimbang dan menempuh cara profesional. Namun, dalam tayangan itu, pesantren tak diberi ruang bicara; yang tersisa hanyalah opini sepihak yang menggerus citra dan menebar prasangka.
Di akhir pernyataannya, Arifin menyerukan agar KPI dan Dewan Pers bertindak. Media, katanya, harus menjadi cermin kebenaran ,bukan alat pengaburan fakta. (R/Red)
Tinggalkan Balasan