
Yogyakarta,suarainfo.com –Di bawah langit yang mulai teduh menjelang Hari Tani Nasional, Komunitas TUK menggelar diskusi di JJ Art, Kafe and Resto. Senin (22/9/2025).Acara ini mempertautkan seniman, budayawan, petani, aktivis komunitas, dan mahasiswa dari UNY, Janabadra, serta Mercu Buana. Mereka berhimpun dalam satu gagasan: menjaga mata air, merawat pertanian, dan melestarikan alam sebagai denyut kehidupan bangsa.





“Mata air adalah nadi bumi. Jika ia mati, dua puluh tahun ke depan kita hanya akan mewarisi kekeringan dan kelaparan,” demikian pengantar diskusi yang menggema, menegaskan betapa rapuhnya kehidupan tanpa keseimbangan alam.


Heru, eks Presiden AFA, menyoroti paradoks nasib petani: “Petani bekerja dengan lumpur, namun keuntungan besar justru direngkuh tengkulak. Negara seharusnya hadir dengan regulasi yang memihak petani, agar profesi ini kembali bermartabat.”
Sementara itu, Mas Dhimas, petani muda dengan slogan “Petani Naik Mercy”-menawarkan alternatif melalui 10 SOP Pertanian Leluhur. Mulai dari pemuliaan tanah, kuras sumber air, pembuatan pupuk alami, hingga ritual nglungguhke Mbok Sri dan Joko Sadono di pedaringan. Semua adalah kearifan yang ia dokumentasikan dalam film berdurasi 70 menit, bukti bahwa warisan nenek moyang masih hidup di tanah Blitar.
Suara alam juga hadir lewat Mas Edwin dari Komunitas Akar Nafas, pejuang hutan mangrove di Baros, Bantul. Dengan tegas ia berkata, “Alam harus dijaga, sebab ketika alam rusak, mata air mati, dan kehidupan perlahan punah.”

Diskusi berjalan hangat, mengikat semangat kolektif untuk melanjutkan perjuangan. Komunitas TUK bertekad menyusun program nyata: dari dialog edukatif, gerakan pelestarian mata air, pemberdayaan petani, hingga menjaga hutan dan lahan lestari.
Mereka percaya, menjaga tanah air adalah menjaga masa depan. Rahayu. (Raja)
Editor : (R.M.Neutron A)
Tinggalkan Balasan