.

Bantul,suarainfo.com|— Biennale Jogja 18 resmi dibuka di Kampoeng Mataraman, Rabu, (9/7/2025).Hajatan seni rupa dua tahunan ini tak hanya menampilkan karya, tetapi menjelma ruang temu antara warga, seniman, dan dunia.
Dengan tajuk Tanah Lelaku, Biennale kali ini menghadirkan seniman dari 12 negara untuk tinggal dan berkarya bersama warga desa seperti Panggung Harjo, Bangunjiwo, Tirtonirmolo, dan Karangsewu. Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika, menegaskan bahwa pendekatan trans-lokal menjadi ruh utama acara ini.
“Seni kontemporer tak lagi terpisah dari tradisi. Ia menyatu dengan kehidupan. Wiwitan, batik, pertunjukan rakyat itu semua seni masa kini,” ujar Alia.
Program terbagi dalam dua babak. Babak pertama berlangsung di Karangsewu, Kulon Progo, bekas kawasan industri gula kolonial yang menyimpan jejak sejarah panjang. Babak kedua menyebar di beberapa titik: Benteng Vredeburg, Panggung Harjo, Bangunjiwo, dan Tim Tonil Molo.
Alia menyampaikan bahwa Biennale Yogyakarta dua tahun terakhir berproses bersama warga desa. Seniman tidak lagi hanya mencipta di studio, tetapi “nyantrik” pada warga: mempelajari pengelolaan sampah, kerajinan topeng, wayang, hingga ritual merti dusun.
Dari Kalidonia Baru, seorang seniman keturunan Jawa kini meneliti sejarah pohon sukun—bibit yang dibawa leluhurnya saat masa kolonial dan kini tumbuh sebagai simbol perlawanan di Pasifik Selatan.
“Kami ingin menciptakan seni yang lahir dari bumi, tumbuh dari laku, dan menyapa dunia,” tutur Alia.

Kurator Greg Sindana menambahkan, bahwa seni adalah cara membaca ulang sejarah desa. “Karangsewu dulunya rawa, berubah jadi industri. Lewat seni, warga belajar mengenali jejak dan masa depan mereka.”ujarnya
Meski Taman Budaya Yogyakarta tidak bisa digunakan karena renovasi, karya-karya tersebar di lokasi-lokasi berbasis komunitas. Di Panggung Harjo, misalnya, tema ekologi dan sampah menjadi wacana utama, bersumber dari praktik warga yang telah mengelola limbah secara mandiri.

Salah satu pembicara Biennale Jogja 18
memberikan paparan dalam sesi Media Gathering bertema Kawruh Tanah Lelaku, Rabu (9/7), di Kampoeng Mataraman.
Warga menyambut Biennale ini dengan antusias.“Dulu kami hanya penonton. Sekarang kami pelaku. Ini momen yang kami tunggu,” ucap salah satu ibu dari Dusun Boro.

Biennale Jogja 18 akan berlangsung hingga 20 November 2025. Bukan sekedar pertunjukan, melainkan proses penghidupan kembali pengetahuan warga, yang selama ini terpinggirkan oleh suara kota.(Raja).
Editor : (R.M.Neutron Aprima).
Tinggalkan Balasan