
Yogyakarta-suarainfo.com – Pada Selasa malam, (9/9/ 2025), pukul 20.07 WIB, Malioboro akan kembali menjadi panggung budaya. Bukan pesta kembang api atau orasi politik, melainkan prosesi hening bertajuk “Laku Bisu”. Taman Sesaji Nusantara mengajak penggiat tradisi, budayawan, dan masyarakat umum untuk berjalan dalam diam, menyusuri jalan dari depan Hotel Inna Garuda menuju Titik Nol Kilometer.
Prosesi ini sederhana tapi sarat makna. Para peserta berjalan kaki tanpa suara, tanpa seruan, tanpa narasi. Sesampainya di Titik Nol, mereka duduk bersama dan melakukan Ujub Sesaji dalam diam. Semua dilakukan dengan mengenakan busana adat, sebagai penghormatan pada tradisi sekaligus peneguhan identitas.
Ketua Umum Taman Sesaji Nusantara, Eko Hand, menyebut sesaji sebagai bahasa komunikasi nonverbal. “Tanpa suara, tanpa narasi, tanpa seruan sikap. Sesaji bicara dengan diam. Ia adalah simbol, ia adalah doa,” ungkapnya.
Bagi Eko, Laku Bisu bukan sekadar ritual, melainkan cara lain membaca situasi sosial. Ketika kata-kata terlalu bising dan sikap sering berbenturan, diam menjadi pilihan. Dalam diam, manusia diajak merenung, meresapi, dan merasakan denyut bangsa yang tengah resah.
Malioboro, dengan segala hiruk pikuknya, dipilih bukan tanpa alasan. Di jalan itu rakyat bertemu, berdagang, bersuara, sekaligus berjuang. Membawa sesaji ke Malioboro berarti mengembalikan doa dan simbol budaya ke ruang publik, ruang bersama yang menjadi saksi sejarah Yogyakarta.
“Diam di Malioboro adalah sikap. Ia mengajarkan kita bahwa kebudayaan bisa hadir bukan hanya di panggung, tetapi juga di jalan yang dilalui rakyat setiap hari,” tutur Hangno Hartono, Pembina Taman Sesaji Nusantara.
Taman Sesaji Nusantara (TSN) mengundang siapa pun untuk ikut serta. Tidak ada tiket, tidak ada panggung resmi, tidak ada pengeras suara. Hanya langkah kaki, sesaji, dan doa diam yang disatukan.
“Setiap orang bisa terlibat. Yang penting hadir, berjalan, duduk, dan hening bersama. Itu saja sudah menjadi sikap,” tambah Eko.
Meski tanpa kata, Laku Bisu justru berharap meninggalkan gema. Gema untuk merenungkan kembali etika hidup bermasyarakat, untuk mengingat martabat manusia, dan untuk meneguhkan nilai-nilai yang sering terlupakan di tengah hiruk pikuk zaman.
Dari Malioboro, diam itu diharapkan sampai ke telinga mereka yang memegang kuasa, sampai ke hati masyarakat yang sedang gelisah, dan sampai ke nurani bangsa yang merindukan keseimbangan.(Raja).
Editor : (R.M.Neutron Aprima)
Tinggalkan Balasan